Sunday, January 16, 2011

Surat Kaisya

Dear Desilia,

Suratku ini datang untuk menyampaikan rindu yang terpendam.

Aku tidak bisa membayangkan ekspresi terkejutmu ketika menerima kedatangan suratku. Tetapi, surat ini memang harus aku sampaikan, agar kita sama-sama bisa belajar dan meresapi.

Kita berada di tempat yg sama, memang. Tapi dimensi kita terbalik. Aku melihat gumpalan angin penuh cinta yang menuju padamu. Sedangkan kabut-kabut lara terus mengelilingi jendela ruang bayangku. Aku saksi putaran kisah yg terpendam. Aku berperan sekaligus tamu di antara ruang pemeras rindu yg tak pernah sampai.

Decilia,
Mungkin kau nyaris tak mengerti dgn ulahku. Sungguh, aku hanya menitip rindu dan menyampaikan cinta lewat surat ini. Setengah jiwaku sudah tak tahan, terampas, terharu, melihat ulah angin perih yang merenggut cahaya dalam ruangnya. Dia terlalu mencintaimu dengan caranya. Dia yang menciptakan ruangan monolog untuk merendam rindunya. Dia yang dengan merangkak mengejarmu terbang tak searah. Dia yang terasuki oleh rasa ingin membahagiakanmu dan dengan yakin meraih harap ingin mendampingi waktumu. Tapi, entah dimana letak pembatas kebersamaan kalian. Batas-batas keras yg entah terbuat dari apa sehingga dapat menjauhkan kalian, yang dengan serempak melumpuhkannya perlahan.

Aku melihat kepenatan yang dia temukan dalam perjalanan yang tak pernah sampai, pada kamu yang ku lihat memang indah. Pada kamu yang ku lihat memang dapat membahagiakannya. Namun Decilia, aku yakin kamu melihat cintanya yang begitu besar, rindunya yang tak pernah pudar, meski kau tak ingin terlalu menyimaknya.

Aku di sini, yang mencintainya tepat di belakang punggung tak berharap. Entah atas dasar apa mengirim surat penitip cinta ini. Dengan harap sederhana, dapat dengan cepat menenangkan hatinya. Hati laki-laki yang ku jaga, hati laki-laki yang selalu menemani laraku. Hati laki-laki yang terus mencintaimu dan terus ku cintai.


Kaisya.


© Mega Hadiyanti Khairunnisa 2011